Tanggal 1 Oktober pagi, saya mengikuti Temu INOVASI ke-12 secara daring. INOVASI adalah nama suatu program kerjasama antara Pemerintah Australia dan Indonesia untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar. Seperti biasanya acara diawali sambutan oleh wakil dari Kedubes Australia di Jakarta, hari itu oleh Daniel Wood-Counselor Human Development, dilanjutkan sambutan oleh Pak Subandi-Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Bappenas dan oleh Pak M. Zain yang mewakili Dirjen Pendidikan Agama Islam Kemenag. Setelah itu disambung dengan pembicara kunci yaitu Pak Mark Heyward-Direktur Program INOVASI dan Ka Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan-Pak Anindito Aditomo, Kemdikbudristek. Isi bagian awal biasa-biasanya saja dan sudah sering kita dengar, yaitu terjadinya learning loses akibat pandemi yang ternyata memperlebar gap hasil belajar antara anak-anak yang tinggal di kota dengan jaringan internet bagus dengan anak-anak yang tinggal di pedesaan yang jaringan internetnya kurang bagus atau bahkan tidak ada, antara anak-anak dari keluarga mampu sehingga di rumah memiliki sarana IT bagus dengan anak-anak dari keluarga kurang mampu sehingga tidak memiliki sarana IT memadai atau bahkan tidak punya sama sekali, antara anak-anak dari keluarga terdidik sehingga dapat membantu belajar di rumah dengan anak-anak dari keluarga kurang terdidik sehingga tidak dapat membantu anaknya belajar. Namun yang agak mengerikan ternyata learning loses itu eksponensial. Semakin tinggi kelas di SD semakin serius learning loses-nya. Akibat pandemi ini, siswa kelas 1 seakan-akan terlambat belajar selama 10 bulan, siswa kelas 2 seakan tertinggal 18 bulan dan siswa kelas 3 seakan tertinggal 27 bulan. Jadi seakan-akan siswa kelas 3 saat ini kemampuannya setara dengan siswa kelas 1 yang belajar selama 6 bulan. Data itu menunjukkan betapa ngerinya learning loses, yang secara jujur saya juga tidak membayangkan sebelumnya. Apalagi itu terjadi di keluarga kurang mampu, kurang terdidik dan tinggal di daerah pedesaan. Jadi menurut saya dampak pandemi terhadap pendidikan sangat serius. Yang lebih menarik adalah paparan Pak Supriyono-Ketua Forum Madrasah Inklusif, Bu Yuliana-Guru SD di Sumba Tengah, Pak Suparmin-Kabid GTK Kabupaten Bulungan, yang kemudian dikuatkan oleh Bupati Bulungan-Pak Syarwani dan Bupati Lombok Tengah-Pak Paulus Limu. Paparan Pak Pri, Bu Yuliana, dan Pak Parmin menunjukkan bahwa mereka bersama tim-nya melakukan inovasi yang sangat bagus ketika menghadapi pandemi. Lebih dari itu ketiganya, meminjam istilah Pak Totok Suprayitno-moderator, seakan “sedia payung sebelum hujan”. Maksudnya inovasi itu sudah dilakukan sebelum ada pandemi covid. Literasi dan numerasi khususnya di SD kelas awal memang menjadi program INOVASI dengan intensif di sekolah yang menjadi binaannya. Namun yang mencengangkan program itu dilaksanakan oleh Pak Pri, Bu Yuliasa dan Pak Parmin dengan berbagai inovasi yang disesuaikan dengan kondisi setempat. Kerennya menggunakan konsep PDIA (problem driven iterative adaptation). Dan ternyata inovasi tersebut didukung penuh oleh Bupati sebagai pemimpin tertinggi di kabupaten. Ketiga orang itu secara jujur mengatakan belum mengetahui dampak apa yang dilakukan terhadap hasil belajar siswa. Yang sudah diketahui betapa para guru bersemangat dan para siswa antusias dalam belajar. Anak-anak merasa enjoy karena belajar sesuai dengan kemampuan mereka dan terkait dengan kehidupan sehari-hari mereka. Bahkan Pak Parmin menyampaikan sudah banyak sekolah yang menerapkan pola tersebut. Mendengar cerita itu, saya merasa seakan melihat lilin-lilin kecil di kegelapan malam. Memang lilin-lilin itu hanya mampu menerangi sedikit lingkungan di sekitarnya. Namun lilin-lilin kecil itu menyala dengan sendirinya. Dan saya meyakini, sebenarnya banyak lilin-lilin (inovasi pendidikan) di berbagai pelosok tanah air tercinta ini. Saya pernah juga mendengar teman melakukan hal serupa di daerah Semarang Jawa Tengah, daerah Probolinggo Jawa Timur, Riau dan sebagainya. Ibarat musik di negeri ini banyak pemusik yang memainkan alat musik tertentu sesuai dengan keahliannya. Diperlukan dirijen atau konduktor yang menyeiramakan agar menjadi orchestra yang indah. Mungkin itulah salah satu tugas Pemerintah. Meminjam istilah David Osborn dalam bukunya Reinventing Government, sebaiknya Pemerintah lebih mengarahkan dari pada menangani sendiri (guiding not rowing). Pemerintah sebaiknya memberdayakan para inovator seperti Pak Pri, Bu Yuliana dan Pak Parmin untuk terus berkarya dan menularkan pada teman sekitarnya. Anggaran yang ada akan lebih efektif dan efisien karena lilin-nya telah menyala atas enersi sendiri, tinggal memperkuat agar lebih besar. Jika semakin banyak lilin-lilin seperti itu saya yakin “pendidikan di negeri ini akan terang”. Semoga. -- Muchlas Samani (masamani@lamdik.or.id) --